Kisah Jugun Ianfu Dibungkam Sejarah
Potret para mantan jugun ianfu yang dibungkam sejarah.
Masa penjajahan Jepang di Indonesia (1942-1945) merupakan
masa kelam bagi perempuan Indonesia. Masa remaja mereka direnggut secara
paksa. Mereka dijadikan Jugun Ianfu (budak seks) tentara kerajaan
Jepang untuk memenuhi kebutuhan seks para serdadunya.
Melakukan invansi dan perang ke negara lain membuat
kelelahan mental tentara Jepang. Kondisi ini mengakibatkan tentara
Jepang melakukan pelampiasan seksual secara brutal dengan cara melakukan
perkosaan masal yang mengakibatkan mewabahnya penyakit kelamin yang
menjangkiti tentara Jepang.
Hal ini tentunya melemahkan kekuatan angkatan perang kekaisaran
Jepang. Situasi ini memunculkan gagasan untuk merekrut
perempuan-perempuan lokal, menyeleksi kesehatan dan memasukan mereka ke
dalam Ianjo-Ianjo sebagai rumah bordil militer Jepang.
Mereka direkrut dengan cara halus seperti dijanjikan sekolah gratis,
pekerjaan sebagai pemain sandiwara, pekerja rumah tangga, pelayan rumah
makan dan juga dengan cara kasar dengan menteror disertai tindak
kekerasan, menculik bahkan memperkosa di depan keluarga.
Jugun ianfu berasal dari Korea Selatan, Korea Utara, Cina, Filipina,
Taiwan, Timor Leste, Malaysia, dan Indonesia. Sebagian kecil di
antaranya dari Belanda dan Jepang sendiri. Mereka dibawa ke wilayah
medan pertempuran untuk melayani kebutuhan seksual sipil dan militer
Jepang baik di garis depan pertempuran maupun di wilayah garis belakang
pertempuran.
Sebagian besar perempuan-perempuan yang berasal dari pulau Jawa yang
dijadikan Jugun Ianfu seperti Mardiyem, Sumirah, Emah Kastimah, Sri
Sukanti, Wainem, hanyalah sebagian kecil Jugun Ianfu Indonesia yang bisa
diidentifikasi. Masih banyak Jugun Ianfu Indonesia yang hidup maupun
sudah meninggal dunia yang belum terlacak keberadaannya.
Mereka diperkosa dan disiksa secara kejam. Dipaksa melayani kebutuhan
seksual tentara Jepang sebanyak 10 hingga 20 orang siang dan malam
serta dibiarkan kelaparan. Kemudian diaborsi secara paksa apabila hamil.
Banyak perempuan mati dalam Ianjo karena sakit, bunuh diri atau disiksa
sampai mati.
Ianjo pertama di dunia dibangun di Shanghai, Cina tahun 1932.
Pembangunan Ianjo di Cina dijadikan model untuk pembangunan Ianjo-Ianjo
di seluruh kawasan Asia Pasifik termasuk Indonesia sejak pendudukan
Jepang tahun 1942-1945 telah dibangun Ianjo diberbagai wilayah seperti
Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Jawa, Nusa Tenggara, Sumatra, Papua.
Gambaran kondisi Jugun Ianfu di jaman perang.
Diperkirakan jumlah wanita yang menjadi budak seks ini termasuk orang
Jepang, Korea, Tiongkok, Malaya (Malaysia dan Singapura), Thailand,
Filipina, Indonesia, Myanmar, Vietnam, India, Indo, Belanda, dan
penduduk kepulauan Pasifik, pada saat perang berkisar antara 20.000 dan
30.000.
Kekerasan seksual yang terjadi dalam perang dunia kedua tersebut
cukup mengejutkan. Para tentara Jepang bahkan mengkoordinir sistem kerja
paksa seksual terhadap ribuan wanita penghibur di Asia. Bahkan, banyak
dara belia yang mengalami kekerasan seksual di gudang pabrik, gerbong
kereta, maupun di rumah. Tak terkecuali perempuan-perempuan pribumi.
Hingga saat ini, usai 65 tahun kemerdekaan, sudah ada 1.156 wanita
yang menjadi Jugun Ianfu dimana kisah-kisah mereka dibungkam oleh
sejarah masa lalu. Selama ini pula kisah-kisah gelap perjuangan wanita
penghibur tersebut memang tidak pernah diceritakan dalam buku teks
pendidikan sejarah Indonesia. Dan, inilah kisah mereka.
Sandiwara Gadungan
Tiada yang menyangka, penderitaan lahir dan batin harus
ditanggung oleh perempuan renta ini. Dulu, ia bercita-cita menjadi
pemain sandiwara, tapi kemudian pupus oleh tipu daya Jepang. Ia pun
harus rela dijadikan Jugun Ianfu, pemuas nafsu birahi serdadu Jepang.
Benar-benar menyakitkan!
Ianjo pertama di dunia.
Sosoknya begitu bersahaja. Usianya tak lagi muda. Ia tinggal di salah
satu gang di sudut kota Yogya, tepatnya di daerah Pathuk (yang terkenal
dengan bakpianya). Rumahnya mungil. Orang-orang sekitar memanggilnya
Mbah Mardiyem.
Mardiyem berusia 78 tahun. Tak ada yang tahu jika dirinya dulu
pernah menjadi budak seks tentara Jepang. Dan karena itu ia memiliki
nama panggilan semasa pendudukan Jepang di Indonesia. Ia, oleh tentara
Jepang, dipanggil dengan ‘Momoye’. Panggilan itu merupakan panggilan
bagi jugun ianfu yang dipekerjakan saat itu.
Tak banyak orang yang mengunjungi rumah Momeye. Ia telah banyak
dilupakan. Dilupakan oleh negara dan dilupakan oleh teman-temannya.
Bahkan, banyak dari teman-temannya yang sudah meninggal.
“Beginilah saya sekarang,” ungkapnya dalam bahasa Jawa sembari
memperkenalkan diri. Meski demikian, sosoknya masih kelihatan cantik.
Wajah dan kulit yang terlihat putih menjadi penanda sisa-sisa kecantikan
masa lalunya.
Pendengarannya pun masih setajam dulu. Sepertinya tak banyak yang
berubah dari perempuan tua ini, selain keriput yang makin melebar dan
gerakannya yang terlihat lamban. Dan mulailah Mardiyem menuturkan
pengalamannya.
Mardiyem lahir di Yogyakarta pada tahun 1929. Saat itu, Mardiyem
kecil hanya mengecap pendidikan hingga kelas II sekolah rakyat (SR) di
Yogyakarta. Dan ia memiliki bakat di bidang seni. Mardiyem sejatinya
terlahir sebagai seniman handal. Ia mahir menyanyi keroncong dan sering
tampil di pergelaran sandiwara di kampungnya.
Suatu hari di jaman penjajahan di tahun 1942, Mardiyem ditawari main
sandiwara oleh seorang Jepang. Waktu itu umurnya baru 13 tahun, ayah dan
ibunya sudah meninggal. Kakak yang saat itu tinggal dengannya pun
mengizinkan untuk menerima tawaran itu.
Mardiyem atau dikenal Momeye.
Saat itu ada 48 perawan Yogyakarta yang diangkut dengan kapal
Nichimaru milik Jepang menuju Telawang, Kalimantan Selatan. Di pulau
seberang itu mereka dibagi menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama
ditempatkan di restoran Jepang. Kelompok kedua dipekerjakan sebagai
pemain sandiwara. Kelompok ketiga, termasuk Mardiyem, dibawa ke sebuah
asrama tentara Jepang yang dipagari bambu tinggi. Orang menyebut tempat
itu ian jo. Di area itu terdapat puluhan kamar berjejer teratur.
Cikada, pengurus asrama itu, segera menemui para gadis, termasuk
Mardiyem. Para gadis itu diberi nama Jepang. Mardiyem pun menjadi
Momoye, setelah terinspirasi cantiknya bunga kembang kertas yang dalam
bahasa Jepang disebut Momoye. Setelah diperiksa dokter, para gadis
diperintahkan menempati kamar masing-masing. Kamar itu sempit, luasnya
tak lebih dari dua meter persegi. Mardiyem ditempatkan di kamar nomor
11. “Dindingnya masih tercium ada bau cat,” tuturnya.
Gadis remaja itu terhenyak. Ia merasa ditipu, karena ternyata
pekerjaan menjadi pemain sandiwara muslihat belaka. Mulai saat itu ia
resmi menjadi jugun ianfu, budak seks bagi tentara Jepang. Sejak itu
pula Mardiyem tak akan pernah bisa melupakan pengalaman duka tersebut.
Pada hari pertama “kerja” tiba-tiba seorang pria Jepang nyelonong ke kamarnya. Lelaki berewok itu membawa karcis.
“Saya tendang. Saya lawan. Tapi, seberapa sih kekuatan anak umur 13 tahun?” ujar Mardiyem.
Benteng itu hancur lah sudah. Air matanya mengucur deras menahan
pedih. Sakit! Dia tak pernah lupa pada derita perih saat kegadisannya
direnggut.
Ternyata lelaki berewok itu baru permulaan, pembuka petaka. Siang itu
pula enam laki-laki bergiliran mendatangi kamarnya. Kamar sempit itu
segera menjadi neraka bagi Mardiyem. Kemaluan remaja yang belum mendapat
haid itu mengalami perdarahan hebat. “Saat berjalan saja darahnya
sampai netes. Kain saya basah jadinya,” ujarnya lirih seperti yang
dikutip dalam sebuah situs berita.
Selama tiga tahun Mardiyem dikurung di kamar nomor 11. Siang-malam
dia harus melayani birahi tentara Jepang. Waktunya habis dalam kamar
“pemerkosaan” itu. Bahkan, untuk makan yang hanya dijatah satu kali
sehari pun sering tak sempat.
Bukan hanya kekerasan seksual yang dialami Mardiyem selama tiga tahun
itu. Pukulan, tamparan, dan tendangan menjadi makanan sehari-hari. Para
tamu ataupun pengelola ian jo begitu ringan tangan setiap Mardiyem
menolak melayani. Setiap hari Mardiyem harus menjadi Momoye dan dipaksa
melayani sedikitnya 5 hingga 10 lelaki.
Ternyata para pengunjung ian jo harus membeli karcis untuk bisa
memperkosa Mardiyem dan kawan-kawannya. Semakin malam, harga karcisnya
kian mahal. Setiap jugun ianfu harus mengumpulkan karcis yang dibawa
para tamu. Menurut pengelola ian jo, karcis-karcis itu akan ditukarkan
dengan uang di kemudian hari. Tiga tahun berlalu, namun para gadis itu
tidak menerima satu sen uang pun . Padahal, selama tiga tahun menjadi
Momoye, Mardiyem mengumpulkan satu keranjang karcis.
Dua tahun berlalu. Suatu hari, Cikada, pengelola ian jo, memanggil
Mardiyem ke kantornya. Mardiyem dibawa ke rumah sakit, karena gadis yang
baru menginjak usia 15 tahun itu hamil. Petugas rumah sakit
menggugurkan paksa kandungannya tanpa bius. Seorang perawat menekan
perut gadis malang itu kencang-kencang. Mardiyem pun menjerit keras.
Janin yang berusia 5 bulan itu keluar dari rahimnya. Akhirnya, janin
yang berwujud manusia itu hanya sesaat merasakan dunia.
Setelah Jepang kalah dalam Perang Dunia II, Mardiyem dan
rekan-rekannya lepas dari cengkeraman tentara Jepang. Tak lama setelah
mereka lari, pasukan Sekutu menghujani asrama itu dengan bom.
“Aku semakin sedih jadinya, kalo ingat masa-masa itu”, tutur Mardiyem.
Setiap malam tiba, penderitaan selama menjadi Momoye selalu
terbayang. Air matanya pun menetes. Semua kenangan sedih itu terurai
kembali.
Permintaan Maaf dari Jepang
Selama tiga tahun, (1943-1945), Momoye harus melayani tamu.
Entah tentara atau sipil. Jika mereka tak puas, pukulan dan tendangan
sepatu lars sering mendarat di tubuhnya.
Sejarah kelam perempuan Indonesia yang dialami ribuan anak perempuan
itu, tak sedikitpun tertulis dalam buku sejarah. Jugun ianfu dianggap
aib oleh negara.
Tak ada hal lain yang diinginkan perempuan tua ini, selain pengakuan
dosa oleh penjajah Jepang. Dari sebuah NGO lokal terungkap, bahwa pada
tahun 1993, tiga pengacara dari Negeri Matahari Terbit datang ke
Indonesia melalui Menteri Sosial kala itu meminta mereka untuk mendata
para eks jugun ianfu yang masih hidup.
Mardiyem dan Suharti, mantan jugun ianfu.
Hingga kini setidaknya terdata sekitar 1.156 eks jugun ianfu dari
Lampung hingga NTB. Mardiyem kemudian dihadirkan sebagai saksi dari
Indonesia dalam persidangan Pengadilan Internasional di Tokyo untuk
Kejahatan Perang terhadap Perempuan dalam Kasus Perbudakan Seksual
Militer Jepang pada masa Perang Dunia II di Desember 2000.
Selanjutnya, di tahun 2001, Pemerintah Indonesia, lewat Mensos,
menerima 38 juta yen dari pemerintah Jepang. Uang itu lantas digunakan
untuk membangun panti jompo. Meskipun demikian, penggunaan dana itu
tidak melibatkan para korban. Kantor Departemen Sosial di Yogyakarta
membenarkan adanya dana sebesar Rp 285 juta untuk pembangunan panti
jompo bagi para eks jugun ianfu.
Rumah Bordil tempat penyekapan perempuan pribumi.
Mardiyem dan 12 kawannya menolak, karena selain tidak ingin tinggal
di panti jompo, kala itu, permintaan maaf itu tidak kunjung datang.
Sampai sekarang aliran dana itu ke mana, tidak ada kejelasan, padahal
pengucuran dana Asian Women’s Fund (AWF) itu masih berlangsung hingga
sekarang.
Bagi Mardiyem, penolakan masyarakat sudah membuatnya sakit hati. Hal
itu diperburuk oleh pemerintah Indonesia yang juga tidak pernah peduli
dengan perjuangannya.
“Waktu saya ke Tokyo, hanya ditemani orang LBH. Kalau orang Korea,
yang menemani wali kota bahkan gubernur sampai anggota parlemennya. Ini
bukti kalau pemerintah tidak peduli,” keluh Mardiyem dalam sebuah
konperensi pers saat penerbitan bukunya.
Setelah beberapa tahun berupaya mencari keadilan, akhirnya permintaan
maaf dari pemerintah Jepang pun tiba. Walau tak sepenuhnya bisa
menghalau pedih itu, dengan sedikit haru, kini ia bisa bernafas lega.
Sepertinya, kepedihan tak akan pernah lekang dari ingatannya. Kepedihan
yang hanya akan sirna ketika ia mati.
Kini, tahun-tahun pilu itu sudah 65 tahun berlalu. Mardiyem sudah
renta. Saat ini perempuan tua yang sangat tegar ini hanya menggantungkan
hidup dari uang pensiun suaminya, Rp 500.000 sebulan. Sesekali dia
menerima belas kasih orang lain. Menurutnya, pengorbanannya di masa
lalu, tidak akan terbayarkan dengan kompensasi sebesar apapun.
“Saya hanya ingin hidup layak dan tenang,” ungkapnya menutup pembicaraan.
Pengakuan Emah Kastimah, Mantan Jugun Ianfu
“Saya Diculik Jepang Sejak Usia 17 Tahun dan Dipaksa Melayani 10 Orang Sehari”
Pada waktu Jepang menduduki Indonesia tahun
1942, Ema Kastimah berusia 17 tahun, kemudian serdadu Jepang masuk ke
desa Ema. Lokasi asrama serdadu Jepang tidak jauh dari desa tempat
tinggal Ema.
Secara paksa Ema diambil oleh serdadu Jepang. Orang tua Ema tidak
berdaya karena takut diancam serdadu Jepang. Lalu Ema dimasukkan ke
dalam mobil yang sopiri orang Indonesia. Didampingi serdadu Jepang Ema
dimasukan ke asrama Jugun Ianfu di Jalan Simpang Cimahi, Bandung.
Wainem, salah satu perempuan pribumi yang pernah menjadi Jugun Ianfu di masa pendudukan Jepang.
Saat itu di Asrama sudah ada 8 perempuan. Setelah setengah hari hari
berada di Asrama Ema disuruh periksa kesehatan oleh dokter, dan
selanjutnya dipaksa melayani kebutuhan seksual serdadu Jepang.
Sering kali Ema dipaksa untuk melayani 10 orang dalam satu hari.
Sehingga sering kali Ema pingsan tidak sadarkan diri. Ketika melayani
serdadu Jepang Ema diminta serdadu Jepang menggunakan kondom. Menurut
Ema, ”biasanya serdadu Jepang sudah diberi kondom dari atasannya,” aku
Ema.
Tugas Ema hanya khusus melayani militer Jepang. Kerjanya mulai dari
jam 13.00-17.00 melayani seradu militer. Setelah itu mandi dan
istirahat, lalu mulai lagi dari jam 19.00-21.00 untuk melayani militer
Jepang yang berpakaian sipil.
Kebanyakan yang memakai Ema berpangkat perwira dan sikapnya baik. Namun
begitu ada juga yang sikapnya kasar biasanya militer Jepang berpangkat
rendah.
Setelah beberapa bulan, Ema dipindahkan ke Asrama Jugun Ianfu di
Jalan Kalidam dan dipekerjakan lagi seperti di tempat sebelumnya. Jarak
antara asrama Jugun Ianfu di Jalan Simpang dengan asrama Jugun Ianfu di
Jalan Kalidam cukup dekat, bisa ditempuh dengan berjalan kaki.
Setiap serdadu yang datang ke Asrama untuk memakai jasa Jugun Ianfu,
mereka harus membeli karcis. Menurut Ema karcisnya sebesar domino yang
warnanya agak kecoklat-coklatan. Biasanya setiap kali selesai melayani
serdadu Jepang, Ema diberi obat cair dari kantor asrama. Obat cair
warnanya kemerah-merahan untuk mecuci kemaluan perempuan.
Ema diberi hari libur satu hari dalam seminggu, jatuh pada hari
minggu . Kesempatan ini dipakai Ibu Ema untuk menengok orang tua selama
satu jam. Setelah itu harus kembali lagi ke asrama di Kalidam.
Setelah dua tahun, orang tua Ibu Ema baru mengetahui kalau anaknya
bekerja untuk jadi “nyai-nyai Jepang”. Mendengar kenyataan itu orang tua
Ema hanya bisa pasrah dan menangis , lalu sakit-sakitan selama anaknya
berada di asrama. Ema tidak bisa melarikan diri dari asrama tempat dia
disekap karena asrama dijaga ketat dan diawasi oleh kempe-tai (polisi
rahasia Jepang).
Setelah mendengar Jepang kalah dari teman-teman di asrama, asrama
Jugun Ianfu ditutup. Semua perempuan yang disekap pulang ke rumah
masing-masing. Ketika pulang ke rumah orang tua Ema sedang sakit karena
terus memikirkan nasib anaknya ditangan militer Jepang.
Kini Ema hanya hidup dari belas kasihan orang-orang, dan tinggal
bedekatan dengan saudara-saudaranya. Beberapa tahun kemudian Ema
menikah, lalu suaminya meninggal dunia. Sejak keluarga almarhum suaminya
mengetahui masa lalu Ema sebagai Jugun Ianfu, mereka menjauh seperti
membuang Ema dari lingkaran keluarga. Dari perkawinannya itu Ema tidak
memiliki keturunan. Kini usia Ema mencapai 82 tahun dan tinggal
berdekatan dengan anak angkatnya.
0 komentar:
Poskan Komentar